Kamis, 27 November 2014

KONFLIK ANTAR AGAMA DI INDONESIA



KONFLIK ANTAR AGAMA DI INDONESIA

I.                   PENDAHULUAN

Masalah konflik antar agama di Indonesia merupakan sebuah masalah yang rumit dan kompleks. Jika kita menengok kembali ke belakakang kepada masa Orde Baru sampai pada saat ini, kasus konflik antar agama tidak pernah absen mewarnai perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Banyak korban yang sudah berjatuhan akibat dari konflik antar agama, baik oleh negara maupun masyarakat sipil.
Konflik agama seakan-akan tidak pernah menemukan solusi yang terbaik untuk dapat menyelesaikan masalah yang ada. Apakah hal yang menyebabkan masalah ini selalu menjadi masalah yang keberlanjutan? Jika melihat lebih lanjut dalam konflik antar agama ini, ada tiga komponen yang harus diteliti. Kita perlu untuk mengkaji seberapa jauh keterlibatan komponen-komponen tersebut memberikan peran dan pengaruhnya terhadap keberlangsungan konflik antar agama yang ada di Indonesia. Ketiga komponen tersebut adalah komponen negara dengan berbagai aparaturnya, komponen konstitusi/ hukum dan komponen masyarakat sipil. Dari ketiga komponen ini kita akan menganalisis komponen mana yang sesungguhnya paling menghambat terbentuknya toleransi beragama di Indonesia.



II.                ISI
1.      Pemerintah
Konflik agama berbeda dengan konflik-konflik pada umumnya. Untuk mengetahui apa hal yang membedakan konflik agama dengan konflik-konflik lainnya, kita perlu merujuk kepada pengertian yang sebenarnya mengenai konflik antar agama itu sendiri. Konflik antar agama adalah konflik antar kelompok pemeluk agama yang berbeda dengan alasan non agama (misalnya politis, ekonomi, sosial) dan bisa juga dengan menggunakan dalil/ tujuan agamawi yang sempit atau bahkan salah (Musahadi, 2007, hal. 80). Jadi, konflik antar agama adalah konflik yang sesungguhnya bukan terjadi karena agama melainkan lebih mengarah kepada masalah polik, ekonomi, maupun sosial tapi tetap dibungkus dengan agama. Konflik jenis inilah yang terjadi di Indonesia.
Pada masa Orde Baru, campur tangan pemerintah terhadap keyakinan dan kehidupan keberagamaan rakyat sangat tinggi. Hal ini disebabkan penguasa pada masa ini menganut sistem developmentalisme. Sistem yang mengejar pertumbuhan ekonomi dan meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi akan meningkat apabila stabilitas politik terkendali. Untuk terkendalinya stabilitas politik ini, negara melakukan intervensi yang sangat besar terhadap segala potensi konflik yang mungkin terjadi.
Paham developmentalisme yang dijalankan pemerintah, telah membawa dampak yang cukup baik yaitu berupa kemajuan dalam bidang ekonomi. Namun, tidak dapat dipungkiri, disisi lain masalah sosial juga tidak dapat dielakkan. Masalah sosial tersebut adalah adanya kecemburuan sosial di mana masyarakat merasa hanya golongan tertentu saja yang mencicipi keberhasilan dari paham yang ditetapkan pemerintah. Rasa kecewa yang dirasakan masyarakat ini harus dipendam karena pemerintah selalu berusaha untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan yang ada di Indonesia.
Sesungguhnya di dalam negara, agama bisa melebur dalam dua wujud yang berbeda. Pertama, tampil sebagai penyangga status quo dan memelihara integrasi dan kedua tampil sebagai prophetic religion yaitu berperan lebih aktif sebagai kekuatan pembebas (Rahardjo, 1999, hal.186). Dari kedua wujud ini, pemerintah memiliki ketakutan bahwa agama akan lahir dalam wujud yang kedua. Yaitu, lahir sebagai oposisi, alat penghimpun kekuatan untuk mengkeritik ketidak adilan yang dilakukan pemerintah. Ketakutan itulah yang mendorong pemerintah untuk mengadakan intervensi terhadap agama. Intervensi yang bertujuan mempertahanka kekuasaan pemerintah. Pemerintah tidak menyadari bahwa sesungguhnya konflik bukanlah sesuatu hal yang harus dihindari karena konflik merupakan konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majemuk. Kesadaran mengenai kemajemukan tersebut justru dapat dilatih melalui penyelesaian konflik yang ada.
Tetapi sumber konflik itu bukanlah agama, melainkan proses ternbentuknya masyarakat ekonomi baru yang menimbulkan persaingan (competition), sebagai suatu bentuk konflik yang telah direduksi menjadi konflik terkendali, berdasarkan kerangka aturan main yang disepakati. (Rahardjo, 1999, hal. 178).

Pada perkembangan selanjutnya, Reformasi telah membawa perubahan yang sebesar-besarnya dalam kehidupan masyarakat. Secara tidak langsung, reformasi telah berdampak kepada kebebasan masyarakat yang tidak terkendali. Keterkungkungan selama masa Orde Baru, membuat rakyat Indonesia ingin memiliki kebebasan sepenuhnya dalam setiap sendi kehidupannya. Termasuk dalam hal ini adalah agama.
Fenomena yang terjadi pada saat ini adalah terjadi perubahan sifat agama. Masyarakat Indonesia mengarah kepada sebuah gerakan yang menggunakan agama tidak  lebih sebagai suatu identitas. Agama sebagai sebuah identitas tak hanya merupakan suatu kebutuhan psikologis, namun juga membangun tembok pemisah dan berakibat pada pertentangan kepentingan- kepentingan duniawi antar anggota dan komunitas agamawi yang berbeda-beda (Musahadi, 2000, hal. 81). Seperti yang kita ketahui kelompok yang dibentuk berdasarkan sebuah identitas tertentu memiliki kecenderungan untuk memiliki sifat primordial dan cauvinisme yang berlebihan. Kelompok-kelompok ini akan cenderung melakukan kepentingan-kepentingan kelompok yang sesunguhnya tidak bersifat religius.
Pada perkembangan selanjutnya, Reformasi telah membawa perubahan cara bertindak pemerintah dalam menghadapi konflik beragama. Reformasi yang menuntut diadakannya perubahan terutama dalam menjamin kebebasan rakyatnya justru membuat pemerintah terkesan tidak memiliki otoritas yang besar dalam menyelesaikan konflik beragama. Pemerintah cenderung bersifat netral dan tidak dapat berdiri tegak dalam konstitusi yang ada. Pemerintah bahkan menyerahkan otoritas untuk menilai sebuah ajaran agama dan kepercayaan kepada organisasi keagamaan korporatis (Susetyo, 2008). Hal ini dapat kita lihat dalam kasus penyimpangan terhadap tafsir mayoritas yang ditunjukkan dalam kasus Ahmadiyah. Di beberapa daerah, hak-hak mereka dibatasi, mulai dari soal membangun tempat ibadah hingga ke persoalan ibadah haji. Bahkan di Lombok, Tasikmalaya, dan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mereka mengalami pengusiran dan pengrusakan pemukiman dan tempat-tempat ibadah (Mulia, 2008).
Selain bersifat netral, negara juga terlihat cenderung tidak adil pada beberapa golongan tertentu hanya karena memperhatikan kepentingan golongan mayoritas. Negara gagal menjadi penengah dan fasilitator yang baik. Kasus SKB dua mentri mengenai pendirian rumah ibadah, cenderung tidak adil bagi golongan tertentu. Sedangkan golongan yang merasa diuntungkan memandang umat yang merasa dirugikan bertindak tidak dewasa karena tidak dapat menjalankan ketentuan yang telah ditetapkan.
Pemerintah yang sepertinya berusaha menghindari kediktatoran dalam menghadapi keanekaragaman masyarakat yang ada karena ketakutan mengulangi kesalahan yang sama seperti rezim sebelumnya. Namun, pemerintah tetap saja gagal untuk meminimalisir terjadinya konflik antar agama karena pemerintah sendiri kehilangan otoritas dalam bertindak. Sungguh merupakan sesuatu yang sangat disayangkan.

2.      Konstitusi
Konstitusi yang ada di Indonesia sesungguhnya menurut saya sudah sangat menjamin kebebasan beragama yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Jaminan-jaminan tentang kebebasan beragama tersebut terdapat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E juga Pasal 29). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18) maupun Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.(Mulia, 2008) Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri.
Walaupun memiliki jaminan konstitusi yang jelas tentang kebebasan beragama, sering sekali konstitusi-konstitusi dimodifikasi sedemikian rupa (ditambah/ dikurangi) untuk melanggengkan tujuan individu atau golongan tertentu. Pada masa Orde Baru konstitusi alat yang potensial untuk tetap menjaga keeksisan rezim yang berkuasa. Dengan  kehadiran UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan UU No. 5/1969, jelas menguntungkan arus mainstream dalam agama-agama resmi untuk mengontrol tumbuhnya kelompok “pembaharu” dalam tubuh mereka, yang mungkin juga bisa mengganggu kekuasaan Orde Baru.
Sedangkan pada masa Reformasi, konflik antar agama yang berhubungan dengan konstitusi lebih banyak terjadi dikarenakan kesalahan tafsir kelompok masyarakat tertentu terhadap konstitusi yang ada dan akhirnya berujung pada tindak kekerasan. Misalnya dalam kasus yang terjadi penafsiran Peraturan bersama 2 Menteri (SKB Dua Mentri mengenai rumah ibadah). Peraturan ini, justru dipandang kelompok tertentu sebagai peraturan yang melegitimasi tindakan penutupan rumah ibadah. Sehingga muncullah aksi penutupan rumah ibadah secara serentak. Selain itu, terdapat juga penyerangan FPI ke STTI Arastamar di Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena merasa terganggu dengan kegiatan mahasiswa dan juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat fakta bahwa sekolah tersebut memiliki ijin (Mulia, 2008). Kasus-kasus ini menunjukkan kepada kita bahwa sering sekali konstitusi diperalat hanya untuk melanggengkan keinginan individu atau sekelompok golongan tertentu saja.
3.      Masyarakat
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam masyarakat reformasi telah meningkat politik identitas yang semakin memperkeruh konflik antar agama. Meningkatnya politik identitas merupakan faktor yang cukup mempengaruhi konflik antar agama karena: identitas ini dipakai sebagai alat artikulasi atas keresahan sosial yang terjadi (Sitompul, 2005, hal. 33). Setiap identitas akan merasa bahwa kelompoknya yag paling benar dan memiliki nilai lebih dari kelonpok identitas lainnya. Hal inilah yang mendorong terjadinya sikap-sikap fanatik dari golongan agama tertentu terhadap golongan agama lainnya.
Ketika identitas yang dipakai untuk mengartikulasi keresahan sosial, hal inilah yang akan memperkeruh suasana yang ada. Misalnya, ketika suatu masalah diartikan dengan menggunakan bahasa agama, maka biasanya agama cenderung akan memaksa seseorang untuk bersikap absolut dan susah untuk melakukan negoisasi. Jika negoisasi tetutup karena keabsolutan yang ditimbulkan dari bahasa agama itu, maka dengan sendirinya jalan kekerasanlah yang akan segera membayang. Sehingga tidak mengherankan bila hasil tingkat “Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia” yang dilaksanakan di tigapuluh tiga provinsi dengan 1.200 responden, menunjukkan tingkat toleransi antarumat beragama di negeri ini cukup rendah. Sebanyak 42,3% responden menyatakan keberatan jika penganut agama lain mendirikan tempat ibadah di lingkungannya. Hanya 38,1% saja yang tidak merasa keberatan. (Kholid, 2006).
Perlu ditekankan, bahwa konflik antar agama yang terjadi selama ini adalah lebih dikarenakan oleh konflik antar individu (sebagai provokator) yang berkembang menjadi konflik antar golongan. Setiap agama memiliki tradisi dan ajaran-ajaran yang mengajak agar umatnya untuk dapat saling menghormati kebebasan beragama dan toleransi. Agama Kristen sendiri selalu mengajak umatnya untuk mencari dan memelihara perdamaian sesuai dengan Alkitab sebagai pedoman hidup (Mazmur 34: 15) dan (Roma 12:18). Selain itu, kita juga dipanggil untuk menjadi garam di tengah dunia (Markus 9:50) serta memiliki kasih dan pengampunan terhadap sesama (Kolose 3: 13-14). Jadi, yang menjadi inti permasalahan yang sesungguhnya bukanlah agama melainkan individu yang memeng memiliki natur yang cenderung berdosa.

3.      PENUTUP
Ketiga komponen yakni pemerintah, konstitusi dan masyarakat memang memiliki peran dan pengaruh masing-masing terhadap konflik antar agama yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Menurut saya, dari antara ketiga komponen tersebut, konstitusi, hanya merupakan alat yang digunakan pemerintah maupun masyarakat untuk mendukung tercapainya tujuan yang mereka inginkan. Sesungguhnya pemerintah dan masyarakatlah yang paling bertanggungjawab terhadap konflik antar agama yang masih terus berkepanjangan. Namun, bila harus memilih siapa sesungguhnya yang memiliki pengaruh paling besar dalam konflik antar agama ini, saya akan memilih masyararakat. Walaupun tidak dipungkiri bahwa kekecewaan terhadap pemerintah dan sifat netral dari pemerintahan jugalah yang membuat masyarakat bersifat anarkis.
Dalam negara demokrasi di mana pemerintahan sesungguhnnya berada di tangan rakyat, maka rakyat sudah seharusnya memiliki civic competence (kesadaran berwarga negara yang dilandasi peghargaan atas prinsip-prinsip toleransi) dan civil responsibility (tanggung jawab kewargaan) yang tinggi untuk dapat menjalankan kedaulatan yang dimiliki. Ketika masyarakat tidak memiliki kedua hal ini, maka sulit bagi negara untuk mengambil sebuah keputusan yang benar dalam menjalankan pemerintahan yang benar.





































KESETARAAN GENDER



Kesetaraan Gender: Peran Perempuan dalam Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga





BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Peran dan kedudukan perempuan di masyarakat dahulu masih berkisar di dalam rumah tangga dan berkutat dengan 3M, yaitu Masak (memasak), Macak (bersolek) dan Maranak (melahirkan anak).[1] Hal ini berhubungan dengan budaya patriarkhi yang kental pada zaman kolonial, dimana pendidikan formal untuk kaum laki-laki dianggap  lebih penting dibanding kaum perempuan. Bahkan pada zaman itu kaum perempuan dilarang mendapatkan pendidikan, dikarenakan tugas perempuan hanya di ruang privat. Perempuan memiliki peran dan tanggung jawab terhadap pemeliharaan keutuhan keluarga atau rumah tangga, sedangkan laki-laki memiliki peran dan tanggung jawab dalam hal pemenuhan ekonomi keluarga. Peran yang berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat merupakan akibat dari pembagian pekerjaan secara seksual. Karena perempuan hamil, melahirkan dan meyusui mereka lebih dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan reproduktif. Pekerjaan-pekerjaan yang termasuk jenis pekerjaan ini antara lain pekerjaan tumah tangga dan merawat anak. Sebaliknya, laki-laki lebih dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang berada di luar rumah atau produksi (sektor publik). Dari pembagian peran tersebut timbul anggapan bahwa kekuatan fisik perempuan tidak lebih dari laki-laki, sehingga perempuan adalah makhluk yang lemah.
Namun, dengan adanya pergerakan kaum perempuan mendorong terjadinya perubahan yang membuat perempuan kini mampu mengekpresikan dirinya tidak hanya di ranah domestik tetapi di ruang publik. Pergerakan perempuan memberikan kesempatan kepada  perempuan untuk mengikuti pendidikan formal sebagaimana laki-laki. Tidak hanya kesempatan dalam memperoleh pendidikan tetapi dalam berbagai bidang pun perempuan mendapatkan kedudukan yang setara dengan laki-laki. Berbagai keberhasilan yang dulu hanya milik kaum laki-laki sudah banyak bergeser. Perkembangan dunia perempuan dalam berbagai bidang semakin tidak terelakan, salah satunya di bidang ekonomi. Banyak perempuan bekerja bermunculan dengan adanya kesetaraan gender. Fenomena munculnya perempuan bekerja atau wanita karir di Indonesia mulai menjamur khususnya di daerah perkotaan sebagai pusat industri. Mereka bekerja di pabrik, restoran, kantor, bahkan di pusat pemerintahan sebagai ruang publik. Tidak sedikit perempuan yang menjadi anggota DPR, walikota, bahkan menjadi presiden. Tidak sedikit pula perempuan yang bekerja dalam profesi yang biasa dilakukan oleh laki-laki, seperti halnya sopir transjakarta, kondektur, buruh angkut, bahkan buruh bangunan.
Pandangan perempuan bekerja pun mulai bergeser. Perempuan bekerja dianggap sebagai gambaran perempuan modern dan perempuan tidak bekerja atau ibu rumah tangga dianggap sebagai perempuan tradisional. Begitupun dengan pandangan bahwa perempuan bekerja merendahkan kaum laki-laki bergeser menjadi perempuan sebagai partner laki-laki untuk menumbuhkan relasi dalam membangun keutuhan rumah tangga. Perempuan bekerja selain sebagai bentuk kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, juga untuk membantu perekonomian keluarga. Hal ini terjadi karena suami dianggap kurang mampu memenuhui perekonomian keluarga. Namun menjadi seorang wanita karir yang telah berkeluarga atau ibu bekerja memiliki beban ganda yang cukup berat. Selain bekerja, perempuan diupayakan tidak mengurangi kewajibannya untuk mengurus keluarga sehingga diperlukan komitmen yang serius antara suami dan isteri agar tidak terjadi pertikaian di dalam keluarga.
1.2. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kesetaraan gender mampu membuat perempuan mengekspresikan diri di ruang publik?
2.      Bagaimana bentuk partisipasi perempuan dalam membantu perekonomian keluarga?
1.3. Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui perempuan mengekspresikan diri melalui kesetaraan gender
2.      Mengetahui bentuk partisipasi perempuan dalam membantu perekonomian keluarga

1.4. Manfaat  Penulisan
1.      Kegunaan praktis. Dapat mengetahui dan memahami peran perempuan dalam membantu perekonomian keluarga
2.      Kegunaan teoritis. Memberikan pemahaman mengenai kesetaraan gender dan feminisme  kepada masyarakat terutama pembaca.
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
Konsep Keluarga
Kata keluarga berasal dari bahasa Latin, yaitu Famulus yang artinya pembantu rumah tangga. Sedangkan kata familia berarti budak yang menjadi milik seorang laki-laki. Menurut asal kata tersebut, dapat dikatakan bahwa perempuan merupakan milik suami dan laki-laki memiliki kebebasan atas perempuan yang dinikahinya. Sehingga, tindak kekerasan terhadap perempuan dilembagakan melalui sistem keluarga.[2]
Menurut Bailon dan Maglaya, keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi yang saling berinteraksi satu sama lain. Ada beberapa fungsi keluarga, yang pertama adalah untuk mengatur penyaluran dorongan seks. Fungsi kedua yaitu, reproduksi berupa pengembangan keturunan, hal ini pun diatur dalam system keluarga. Ketiga, keluarga berfungsi mensosialisasikan anggota baru di masyarakat sehingga dapat memerankan peranan yang harus dilakukan individu. Keempat, keluarga memiliki fungsi afeksi yaitu memberikan kasih sayang kepada anggota keluarganya. Kelima, keluarga memberikan status kepada anaknya. Keenam, keluarga memberikan perlindungan kepada masing-masing anggota keluarganyanya. [3]
Di dalam keluarga, masing-masing keluarga memiliki peranan masing-masing. Ayah memiliki peranan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, dan sebagai anggota dari masyarakat/kelompok sosial. Peranan ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya berperan mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh, pendidik dan pelindung dari anak-anaknya. Selain itu, istri dapat memiliki peran sebagai pencari nafkah untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarganya. Kemudian, anak memiliki peranan sebagai pelaksana peran psiko-sosial sesuai dengan lingkungan yang berdasarkan pada tingkatan perkembangan baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.

Perempuan Bekerja
Fenomena perempuan bekerja sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru di tengah masyarakat kita. Secara ekonomi, bekerja dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan barang atau jasa untuk digunakan sendiri maupun untuk mendapatkan suatu imbalan. Menurut Moore, definisi tentang kerja sering kali tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang, tetapi juga menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta penilaian sosial yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut.[4]
            Keterlibatan perempuan dalam bekerja, dapat dipengaruhi oleh beberapa sebab, yaitu:tekanan ekonomi, lingkungan keluarga yang mendukung, untuk kepuasan batin dan sebagian lagi bekerja untuk kepentingan mereka sendiri. Adanya peningkatan atau kenaikan jumlah perempuan bekerja di Indonesia, selain karena dorongan untuk mempertahankan ketahanan ekonomi keluarga juga karena terbukanya kesempatan kerja di berbagai sektor yang banyak menampung tenaga kerja perempuan, seperti pertanian, perdagangan dan jasa.[5] Adanya tuntutan untuk menopang perempuan keluarga menyebabkan sebagian besar suami dan istri secara bersama-sama harus mencari nafkah. Sehingga, banyak perempuan justru memasuki masa-masa dan dunia yang jauh lebih sulit dari sebelum menikah. Beban ekonomi keluarga dan segala urusan rumah tangga kemudian lebih banyak jatuh ke pundak perempuan.
Konsep Gender
Gender adalah perbedaan sifat, peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan oleh masyarakat (budaya). Menurut Sadli, konsep gender mengacu pada konsep sosial yang menempatkan seorang sebagai maskulin dan feminin berdasarkan karakteristik psikologis dan perilaku tertentu yang secara kompleks telah dipelajari melalui pengalaman sosialisasi.[6] Dalam budaya partiakhi, konsep gender yang membedakan perempuan dan laki-laki berdasarkan konstruksi sosial membuat perempuan terkonsep sebagai perempuan yang lemah, tidak berdaya dan tidak tegas membuat laki-laki menjadi pihak yang dominan. Laki-laki dikondisikan selalu benar, logis, tegas, tidak boleh lemah atau cengeng dan harus siap melindungi perempuan. Sehingga yang terjadi adalah penempatan kekuasaan menjadi milik laki-laki.
Adanya konsep gender juga mengakibatkan terjadinya pembagian peran antara perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Perempuan memiliki peran dan tanggung jawab terhadap pemeliharaan keutuhan keluarga atau rumah tangga, sedangkan laki-laki memiliki peran dan tanggung jawab dalam hal pemenuhan ekonomi keluarga. Peran yang berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat merupakan akibat dari pembagian pekerjaan secara seksual. Karena perempuan hamil, melahirkan dan meyusui mereka lebih dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan reproduktif. Pekerjaan-pekerjaan yang termasuk jenis pekerjaan ini antara lain pekerjaan tumah tangga dan merawat anak. Sebaliknya, laki-laki lebih dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang berada di luar rumah atau produksi (sektor publik). Dari pembagian peran tersebut timbul anggapan bahwa kekuatan fisik perempuan tidak lebih dari laki-laki, sehingga perempuan adalah makhluk yang lemah. Anggapan itu melahirkan nilai-nilai yang menempatkan perempuan sebagai makhluk “kelas dua” lengkap dengan pencitraan-pencitraan yang tidak semuanya menguntungkan perempuan, bahkan sebaliknya. Nilai-niali itulah yang dianut, disosialisasikan, dan dipraktekkan secara keseharian,sekaligus mempengaruhi ketidakseimbangan relasi gender yang merugikan perempuan.[7]
            Konsep gender yang berlaku di masyarakat disebabkan oleh adanya budaya partriarkhi. Patriarkhi berasal dari bahasa Yunani; patria berarti bapak dan arche berarti aturan, merupakan istilah antopologis yang digunakan untuk merumuskan kondisi sosiologis anggota laki-laki suatu masyarakat yang cenderung menguasai posisi kekuasaan; semakin berkuasa mereka semakin kuat dorongan seorang laki-laki untuk memegang posisi tersebut.[8] Budaya patriarkhi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki. Dalam keluarga, kedudukan isteri tergantung suami, kedudukan anak perempuan tergantung pada ayah atau saudara laki-laki.


Teori Feminisme Liberal
Feminisme Liberal ialah terdapat pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Pandangan dasar dari kaum feminis liberal ialah bahwa setiap laki-laki ataupun perempuan mempunyai hak mengembangakn kemampuan dan rasionalitasnya secara optimal.[9]
Feminis liberal memandang bahwa subordinasi perempuan berakar pada seperangkat kendala dan kebiasaan budaya yang mkenghambat akses perempouan terhadap peremupan untuk berkompetisi secara adil dengqan laki-laki. Begitu pula dengan kedudukan perempuan yang relatif rendah pada pasar tenaga kerja tidak dapat dipisahkann dari struktur sosial yang menempatkan perempuan pada kedudukan yang lebih rendah dari pada laki-laki. Perempuan disosialisikan pada kegiatan-kegiatan domesitik, dimana perbedaan antara perempuan dan laki-laki disosialisasikan dalam keluarga kemudian terefleksi dalam kecenduerungan pekerjaan menerima pemrintah bagai perempuan dan memberi perintah bagi laki-laki.
Menurut Berger dan Luckmann, ada dua penyebab terbentuknya dua perbedaan peranan antara perempuan dan laki-laki yang menyebabkan adanya pemisahan wilayah kekuasaan perempuan di dalam dan laki-laki di luar, yaitu kontruksi sosial dan reproduksi sosial. Kontruksi sosial yaitu menerangakn bagaimana proses awal bidang domestik dan bidang publik itu terbentuk. Kontruksi sosial terbentuk dari tiga proses, yaitu proses eksternalisasi, proses objektifikasi, dan proses internalisasai. Sedangakan reproduksi sosial yaitu bagaimana seharusnya perbedaan bidang domestik dan publik itu dikuatkan. Hal itu dilakukan dengan simbol-simbol, reproduksi status biologis perempuan dan reproduksi status kultural perempuan.
Menurut faham ini, kunci dari penghapusan diksrimnasi dan ketimpangan sosial atas gender terletak teruatam pada pendidikan (formal dan non formal) dan pembukaan kesempatan kerja. Feminisme liberal juga mengusahakan untuk menyadarkan perempuan bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan perempuan di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan memposisikan perempuan pada posisi subordinat. Akar dari teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki sehingga harus diberi hal yang sama juga dengan laki-laki.[10]
Industrialisasi dalam Perubahan Ekonomi Keluarga
Salah satu cara berfikir mengenai alasan mengapa terjadi perubahan sosial dan transformasi sosial adalah menyatakan bahwa suatu masyarakat dan masing-masing bagiannya mempunyai kebutuhan untuk menyesuaikan dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik mereka, atau lebih tepatnya menyesuaikan dengan perubahan yang relevan di dalam lingkungan keluarga.[11] Perubahan yang terjadi dalam keluarga, terutama perubahan ekonomi, sejalan dengan perubahan zaman. Perubahan yang diinginkan biasanya diharapkan bermuara pada kesejahteraan dan kebahagiaan, namun kenyataannya sering menjadi lain. Sejahtera dan bahagia tidak hanya sebagai tujuan keluarga, tetapi lebih luas dari itu, yaitu tujuan hidup.

Dalam usaha untuk mengkaji masalah keluarga pada masa kini, maka suatu hal yang sangat relevan untuk dipikirkan adalah masalah industrialisasi dan keluarga. Dimana terjadi suatu perubahan struktur dari masyarakat yang agraris menjadi industrialis. Goode mengemukakan pada masa kini bersamaan dengan proses industrialisasi dapat diamati suatu perubahan ke arah bentuk yang disebut keluarga konjugal. Secara singkat, keluarga konjugal menurut Goode adalah keluarga dimana keluarga batih menjadi semakin mandiri melakukan peran-perannya lebih terlepas dari kerabat-kerabat luas pihak suami istri.[12] Secara ekonomi keluarga konjugal itu berdiri sendiri, tempat tinggal juga secara sendiri, tidak bersatu dengan kerabat luas. Secara psikologis, satuan yang kecil ini menjadi semakin berdikari. Ini berarti juga bahwa hubungan emosional di antara suami istri lebih sentral dalam kehidupan keluarga yang memang menyebabkan hubungan mereka menjadi akarab. Akan tetapi kemungkinan keluarga pecah juga lebih besar karena yang mengikatnya adalah terutama suami istri itu saja. Sedangkan dalam keluarga tradisional masih ada anggota keluarga luas yang mengikat keluarga kecil.

Sistem ekonomi yang bertopang pada industri, sistem keluarga juga telah berubah dari yang tradisional menjadi modern. Keluarga modern diamsusikan memiliki ciri-ciri tipe keluarga konjugal. Seperti yang telah disebutkan diatas, keluarga konjugal suami istri terlibat dalam hubungan yang setaraf, mempunayi hubungan personal yang akrab, antara anak dan orang tua terdapat hubungan yang tidak otoriter atau berciri demokratis, para remaja kawin dalam umur yang tidak terlalu muda. Perubahan yang berlangsung terhadap keluarga hanya dapat dipahami sepenuhnya bila kita berangkat dari pengetahuan baseline mengenai keluarga dan hal itu harus dilandaskan pada pengenalan sejarah dari keluarga sebagai pranata sosial.

Dalam kajian perubahan keluarga ketika masyarakat mengalami proses industrialisasi, gejala wanita bekerja tentulah menjadi perhatian besar. Adanya perluasan bidang pekerjaan dan pertumbuhan kemandirian keluarga sebagai fenomena yang muncul dalam masyarakat modern mempengaruhi pola pikir khususnya kaum perempuan untuk ikut ambil bagian dalam arena yang penuh persaingan tersebut. Dahulu perempuan dituntut untuk selalu berada di dalam rumah mengurus rumah tangga, anak dan suami, tetapi di jaman modern saat ini kaum perempuan tidak mau lagi selalu berada di lingkungan rumah tangga yang serba terbatas sehingga mereka tidak bisa mengembangkan diri dan kariernya. Dengan perkembangan jaman para perempuan tidak mau lagi hanya berdiam diri di rumah dan menggantungkan ekonominya pada suami. Namun dalam kenyataan sebenarnya bnayak tantangan ternyata presentase wanita bekerja meningkat juga dan kemungkinan besar terjadi karena di pasaran tenaga kerja yang memperoleh pekerjaan yang ditawarkan adalah yang mampu.

BAB III
ANALISIS
Di dalam keluarga, masing-masing keluarga memiliki peranan masing-masing. Ayah memiliki peranan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, dan sebagai anggota dari masyarakat/kelompok sosial. Peranan ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya berperan mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh, pendidik dan pelindung dari anak-anaknya. Selain itu, istri dapat memiliki peran sebagai pencari nafkah untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarganya. Pada saat ini tugas mencari nafkah tidak lagi menjadi tugas kepala keluarga atau suami, tetapi sudah menjadi tugas siapa saja yang menjadi anggota keluarga. Dalam kasus yang kami ambil, yaitu tentang seorang pengemudi Bus TransJakarta perempuan, Henny Prichatiningsih. Sebelum menjadi seorang supir TransJakarta, Henny sudah menjajal berbagai macam profesi. Mulai dari instruktur aerobik, pelatih tari, hingga guru taman kanak-kanak. Wanita 40 tahun asal Cilacap itu, sama sekali tak menyangka akan menekuni profesi pengemudi Bus TransJakarta. Dalam artikel tentangnya tersebut, ia bertutur bahwa awal menjalani karirnya sebagai seorang pengemudi Bus TransJakarta karena ia merasa tertantang menjalani sebuah profesi yang pada umumnya di dominasi oleh kaum pria ini. Selain itu, ia juga mengatakan, dengan menjadi pengemudi Bus TransJakarta, dapat membantu perekonomian keluarganya karena penghasilannya yang lumayan.
Dari hal tersebut kita bisa melihat, bahwa fenomena perempuan bekerja sebenarnya bukanlah barang baru di tengah masyarakat kita. Sejak zaman purba pun ketika manusia masih mencari penghidupan dengan cara berburu dan meramu, seorang isteri  sesungguhnya sudah bekerja. Sementara suaminya pergi berburu, di rumah ia bekerja menyiapkan makanan dan  mengelola hasil buruan untuk ditukarkan dengan bahan lain yang dapat dikonsumsi keluarga. Karena sistem perekonomian yang berlaku pada masyarakat purba adalah sistem barter, maka pekerjaan perempuan meski sepertinya  masih berkutat di sektor domestik namun sebenarnya mengandung nilai ekonomi yang sangat tinggi.


Perempuan Bekerja Dalam Konstruksi Gender
Mulai maraknya fenomena perempuan bekerja di masyarakat kita merupakan tanda bahwa sudah adanya transformasi sosial di dalam peran antara laki-laki dan perempuan. Terjadinya transformasi sosial tersebut dikarenakan masyarakat dan masing-masing bagiannya mempunyai kebutuhan untuk menyesuaikan dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik mereka, atau lebih tepatnya menyesuaikan dengan perubahan yang relevan di dalam lingkungan keluarga.[13] Artinya maraknya perempuan bekerja merupakan sebuah bentuk adaptasi dari berbagai kebutuhan yang semakin meningkat. Dapat di katakan juga bahwa hampir semua keluarga menginginkan adanya kesejahteraan serta kebahagiaan keluarga.

Dalam kasus yang kami ambil, Henny bisa dipandang sebagai seorang perempuan bekerja. Seperti yang dijelaskan tadi, bahwa perempuan bekerja merupakan fenomena yang sudah lazim di masyarakat kita. Secara ekonomi, bekerja dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan barang atau jasa untuk digunakan sendiri maupun untuk mendapatkan suatu imbalan. Dalam fenomena Henny sebagai pengemudi Bus TransJakarta, keterlibatan perempuan dalam bekerja, dapat dipengaruhi oleh beberapa sebab yaitu: tekanan ekonomi, lingkungan keluarga yang mendukung, untuk kepuasan batin dan sebagian lagi bekerja untuk kepentingan mereka sendiri.

Namun dalam pandangan konstruksi gender di masyarakat kita yang sebagian masih menganut patriarki, Henny sebagai seorang perempuan yang bekerja bisa dianggap ssebagai sesuatu yang tidak lazim, karena dalam pandangan gender patriarki perempuan dianggap lemah dan hanya berada pada ranah domestik, tidak seperti laki-laki yang berada di ranah pubik. Akan tetapi dalam kasus Henny sebagai pengemudi Bus TransJakarta pada dewasa ini, budaya atau konstruksi patriarki sudah tidak lagi berpengaruh signifikan dalam pandangan masyarakat kita. Henny yang bekerja sebagai pengemudi Bus TransJakarta merupakan contoh dari perempuan yang sudah mulai memasuki pekerjaan yang biasanya didominasi oleh pria. Dalam pandangan feminisme liberal, Henny bisa di katakan sebagai seorang perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Peran perempuan dahulu diidentifikasikan hanya mengurus keperluan domestic rumah tangga saja, yaitu memasak, bersolek, melahirkan anak. Adanya pandangan tersebut menyebabkan perempuan tidak diperbolehkan menampakkan diri dalam ruang publik baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, maupun politik mengingat system kebudayaan di Indonesia adalah patriarki, dimana laki-laki yang memiliki hak dan kewajiban lebih besar dibandingkan perempuan. Namun, gerakan perempuan/feminis timbul karena perempuan sadar bahwa harus terdapat kesetaraan gender karena perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki di ruang publik. Gerakan feminis ini kemudian menggeser paradigma yang menganggap perempuan lemah dan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki di ruang publik, menjadi memperbolehkan perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki sehingga perempuan di Indonesia saat ini sudah banyak yang memperoleh pendidikan tinggi dan bekerja di berbagai sector perekonomian, bahkan melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki. Saat ini, fungsi dan peranan perempuan dalam rumah tangga mengalami perubahan. Perempuan tidak hanya mengurus anak, melahirkan, mendidik anak, namun perempuan sebagai istri mampu bekerja untuk membantu suami mencari nafkah sehingga kesejahteraan ekonomi keluarga meningkat.


Daftar Pustaka

Bhasin, Kamla. 2000. Menggugat Patriarki, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya

Djhantini, Noordjanah. 2006. Memecah Kebisuan, Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan. Jakarta: Komnas Perempuan,

Irianto, Sulistyowati. 2003. Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

J. Goode, William. 2006. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara

K. Garna, Judistira. 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial. Bandung: Universitas Padjajaran

Kalyanamedia. 2006. Gender dalam Keluarga, Jakarta: Kalyanamitra

Saptari, Ratna dan Brigette Holzner. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Sumber Internet

http://bps.jakarta.go.id/, diakses pada tanggal 17 Maret 2014