Kesetaraan
Gender: Peran Perempuan dalam Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Peran
dan kedudukan perempuan di masyarakat dahulu masih berkisar di dalam rumah
tangga dan berkutat dengan 3M, yaitu Masak (memasak), Macak (bersolek) dan
Maranak (melahirkan anak).[1]
Hal ini berhubungan dengan budaya patriarkhi yang kental pada zaman kolonial,
dimana pendidikan formal untuk kaum laki-laki dianggap lebih penting dibanding kaum perempuan.
Bahkan pada zaman itu kaum perempuan dilarang mendapatkan pendidikan,
dikarenakan tugas perempuan hanya di ruang privat. Perempuan
memiliki peran dan tanggung jawab terhadap pemeliharaan keutuhan keluarga atau
rumah tangga, sedangkan laki-laki memiliki peran dan tanggung jawab dalam hal
pemenuhan ekonomi keluarga. Peran yang berbeda antara perempuan dan laki-laki
dalam keluarga dan masyarakat merupakan akibat dari pembagian pekerjaan secara
seksual. Karena perempuan hamil, melahirkan dan meyusui mereka lebih
dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan reproduktif. Pekerjaan-pekerjaan yang
termasuk jenis pekerjaan ini antara lain pekerjaan tumah tangga dan merawat
anak. Sebaliknya, laki-laki lebih dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang
berada di luar rumah atau produksi (sektor publik). Dari pembagian peran
tersebut timbul anggapan bahwa kekuatan fisik perempuan tidak lebih dari
laki-laki, sehingga perempuan adalah makhluk yang lemah.
Namun,
dengan adanya pergerakan kaum perempuan mendorong terjadinya perubahan yang
membuat perempuan kini mampu mengekpresikan dirinya tidak hanya di ranah
domestik tetapi di ruang publik. Pergerakan perempuan memberikan kesempatan
kepada perempuan untuk mengikuti
pendidikan formal sebagaimana laki-laki. Tidak hanya kesempatan dalam
memperoleh pendidikan tetapi dalam berbagai bidang pun perempuan mendapatkan
kedudukan yang setara dengan laki-laki. Berbagai keberhasilan yang dulu hanya
milik kaum laki-laki sudah banyak bergeser. Perkembangan dunia perempuan dalam
berbagai bidang semakin tidak terelakan, salah satunya di bidang ekonomi.
Banyak perempuan bekerja bermunculan dengan adanya kesetaraan gender. Fenomena
munculnya perempuan bekerja atau wanita karir di Indonesia mulai menjamur
khususnya di daerah perkotaan sebagai pusat industri. Mereka bekerja di pabrik,
restoran, kantor, bahkan di pusat pemerintahan sebagai ruang publik. Tidak
sedikit perempuan yang menjadi anggota DPR, walikota, bahkan menjadi presiden.
Tidak sedikit pula perempuan yang bekerja dalam profesi yang biasa dilakukan
oleh laki-laki, seperti halnya sopir transjakarta, kondektur, buruh angkut,
bahkan buruh bangunan.
Pandangan
perempuan bekerja pun mulai bergeser. Perempuan bekerja dianggap sebagai
gambaran perempuan modern dan perempuan tidak bekerja atau ibu rumah tangga
dianggap sebagai perempuan tradisional. Begitupun dengan pandangan bahwa
perempuan bekerja merendahkan kaum laki-laki bergeser menjadi perempuan sebagai
partner laki-laki untuk menumbuhkan
relasi dalam membangun keutuhan rumah tangga. Perempuan bekerja selain sebagai
bentuk kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, juga untuk membantu
perekonomian keluarga. Hal ini terjadi karena suami dianggap kurang mampu
memenuhui perekonomian keluarga. Namun menjadi seorang wanita karir yang telah
berkeluarga atau ibu bekerja memiliki beban ganda yang cukup berat. Selain
bekerja, perempuan diupayakan tidak mengurangi kewajibannya untuk mengurus keluarga
sehingga diperlukan komitmen yang serius antara suami dan isteri agar tidak
terjadi pertikaian di dalam keluarga.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kesetaraan gender mampu membuat perempuan
mengekspresikan diri di ruang publik?
2. Bagaimana bentuk partisipasi perempuan dalam membantu
perekonomian keluarga?
1.3.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
perempuan mengekspresikan diri melalui kesetaraan gender
2.
Mengetahui
bentuk partisipasi perempuan dalam membantu perekonomian keluarga
1.4. Manfaat Penulisan
1.
Kegunaan praktis. Dapat
mengetahui dan memahami peran perempuan
dalam membantu perekonomian keluarga
2.
Kegunaan teoritis. Memberikan pemahaman mengenai kesetaraan gender dan feminisme kepada masyarakat terutama pembaca.
BAB II
KERANGKA
KONSEPTUAL
Konsep Keluarga
Kata keluarga berasal dari bahasa Latin, yaitu
Famulus yang artinya pembantu rumah tangga. Sedangkan kata familia berarti
budak yang menjadi milik seorang laki-laki. Menurut asal kata tersebut, dapat
dikatakan bahwa perempuan merupakan milik suami dan laki-laki memiliki
kebebasan atas perempuan yang dinikahinya. Sehingga, tindak kekerasan terhadap
perempuan dilembagakan melalui sistem keluarga.[2]
Menurut Bailon dan Maglaya, keluarga adalah dua atau
lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah,
perkawinan, atau adopsi yang saling berinteraksi satu sama lain. Ada beberapa
fungsi keluarga, yang pertama adalah untuk mengatur penyaluran dorongan seks.
Fungsi kedua yaitu, reproduksi berupa pengembangan keturunan, hal ini pun
diatur dalam system keluarga. Ketiga, keluarga berfungsi mensosialisasikan
anggota baru di masyarakat sehingga dapat memerankan peranan yang harus
dilakukan individu. Keempat, keluarga memiliki fungsi afeksi yaitu memberikan
kasih sayang kepada anggota keluarganya. Kelima, keluarga memberikan status
kepada anaknya. Keenam, keluarga memberikan perlindungan kepada masing-masing
anggota keluarganyanya. [3]
Di dalam keluarga, masing-masing keluarga memiliki
peranan masing-masing. Ayah memiliki peranan sebagai pencari nafkah, pendidik,
pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, dan sebagai anggota
dari masyarakat/kelompok sosial. Peranan ibu sebagai istri dan ibu dari
anak-anaknya berperan mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh, pendidik dan
pelindung dari anak-anaknya. Selain itu, istri dapat memiliki peran sebagai
pencari nafkah untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarganya. Kemudian, anak
memiliki peranan sebagai pelaksana peran psiko-sosial sesuai dengan lingkungan
yang berdasarkan pada tingkatan perkembangan baik fisik, mental, sosial, dan
spiritual.
Perempuan Bekerja
Fenomena perempuan bekerja sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru
di tengah masyarakat kita. Secara ekonomi, bekerja dapat didefinisikan sebagai
kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan barang atau jasa untuk digunakan
sendiri maupun untuk mendapatkan suatu imbalan. Menurut Moore, definisi tentang
kerja sering kali tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang, tetapi
juga menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta penilaian
sosial yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut.[4]
Keterlibatan
perempuan dalam bekerja, dapat dipengaruhi oleh beberapa sebab, yaitu:tekanan
ekonomi, lingkungan keluarga yang mendukung, untuk kepuasan batin dan sebagian
lagi bekerja untuk kepentingan mereka sendiri. Adanya peningkatan atau kenaikan
jumlah perempuan bekerja di Indonesia, selain karena dorongan untuk
mempertahankan ketahanan ekonomi keluarga juga karena terbukanya kesempatan
kerja di berbagai sektor yang banyak menampung tenaga kerja perempuan, seperti
pertanian, perdagangan dan jasa.[5] Adanya tuntutan untuk
menopang perempuan keluarga menyebabkan sebagian besar suami dan istri secara
bersama-sama harus mencari nafkah. Sehingga, banyak perempuan justru memasuki
masa-masa dan dunia yang jauh lebih sulit dari sebelum menikah. Beban ekonomi
keluarga dan segala urusan rumah tangga kemudian lebih banyak jatuh ke pundak
perempuan.
Konsep Gender
Gender adalah perbedaan sifat, peran dan tanggung jawab perempuan
dan laki-laki yang dikonstruksikan oleh masyarakat (budaya). Menurut Sadli,
konsep gender mengacu pada konsep sosial yang menempatkan seorang sebagai
maskulin dan feminin berdasarkan karakteristik psikologis dan perilaku tertentu
yang secara kompleks telah dipelajari melalui pengalaman sosialisasi.[6] Dalam budaya partiakhi,
konsep gender yang membedakan perempuan dan laki-laki berdasarkan konstruksi
sosial membuat perempuan terkonsep sebagai perempuan yang lemah, tidak berdaya
dan tidak tegas membuat laki-laki menjadi pihak yang dominan. Laki-laki
dikondisikan selalu benar, logis, tegas, tidak boleh lemah atau cengeng dan
harus siap melindungi perempuan. Sehingga yang terjadi adalah penempatan
kekuasaan menjadi milik laki-laki.
Adanya konsep gender juga mengakibatkan terjadinya pembagian peran
antara perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat.
Perempuan memiliki peran dan tanggung jawab terhadap pemeliharaan keutuhan
keluarga atau rumah tangga, sedangkan laki-laki memiliki peran dan tanggung
jawab dalam hal pemenuhan ekonomi keluarga. Peran yang berbeda antara perempuan
dan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat merupakan akibat dari pembagian
pekerjaan secara seksual. Karena perempuan hamil, melahirkan dan meyusui mereka
lebih dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan reproduktif. Pekerjaan-pekerjaan
yang termasuk jenis pekerjaan ini antara lain pekerjaan tumah tangga dan
merawat anak. Sebaliknya, laki-laki lebih dihubungkan dengan
pekerjaan-pekerjaan yang berada di luar rumah atau produksi (sektor publik).
Dari pembagian peran tersebut timbul anggapan bahwa kekuatan fisik perempuan
tidak lebih dari laki-laki, sehingga perempuan adalah makhluk yang lemah.
Anggapan itu melahirkan nilai-nilai yang menempatkan perempuan sebagai makhluk
“kelas dua” lengkap dengan pencitraan-pencitraan yang tidak semuanya
menguntungkan perempuan, bahkan sebaliknya. Nilai-niali itulah yang dianut,
disosialisasikan, dan dipraktekkan secara keseharian,sekaligus mempengaruhi
ketidakseimbangan relasi gender yang merugikan perempuan.[7]
Konsep gender
yang berlaku di masyarakat disebabkan oleh adanya budaya partriarkhi.
Patriarkhi berasal dari bahasa Yunani; patria berarti bapak dan arche berarti
aturan, merupakan istilah antopologis yang digunakan untuk merumuskan kondisi
sosiologis anggota laki-laki suatu masyarakat yang cenderung menguasai posisi
kekuasaan; semakin berkuasa mereka semakin kuat dorongan seorang laki-laki
untuk memegang posisi tersebut.[8] Budaya patriarkhi dapat
didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki. Dalam keluarga,
kedudukan isteri tergantung suami, kedudukan anak perempuan tergantung pada
ayah atau saudara laki-laki.
Teori Feminisme Liberal
Feminisme Liberal ialah terdapat pandangan untuk menempatkan perempuan yang
memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada
rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Pandangan dasar dari
kaum feminis liberal ialah bahwa setiap laki-laki ataupun perempuan mempunyai
hak mengembangakn kemampuan dan rasionalitasnya secara optimal.[9]
Feminis liberal memandang bahwa subordinasi perempuan berakar pada
seperangkat kendala dan kebiasaan budaya yang mkenghambat akses perempouan
terhadap peremupan untuk berkompetisi secara adil dengqan laki-laki. Begitu
pula dengan kedudukan perempuan yang relatif rendah pada pasar tenaga kerja
tidak dapat dipisahkann dari struktur sosial yang menempatkan perempuan pada
kedudukan yang lebih rendah dari pada laki-laki. Perempuan disosialisikan pada kegiatan-kegiatan
domesitik, dimana perbedaan antara perempuan dan laki-laki disosialisasikan
dalam keluarga kemudian terefleksi dalam kecenduerungan pekerjaan menerima
pemrintah bagai perempuan dan memberi perintah bagi laki-laki.
Menurut Berger dan Luckmann, ada dua penyebab terbentuknya dua
perbedaan peranan antara perempuan dan laki-laki yang menyebabkan adanya
pemisahan wilayah kekuasaan perempuan di dalam dan laki-laki di luar, yaitu
kontruksi sosial dan reproduksi sosial. Kontruksi sosial yaitu menerangakn
bagaimana proses awal bidang domestik dan bidang publik itu terbentuk.
Kontruksi sosial terbentuk dari tiga proses, yaitu proses eksternalisasi,
proses objektifikasi, dan proses internalisasai. Sedangakan reproduksi sosial
yaitu bagaimana seharusnya perbedaan bidang domestik dan publik itu dikuatkan.
Hal itu dilakukan dengan simbol-simbol, reproduksi status biologis perempuan
dan reproduksi status kultural perempuan.
Menurut faham ini, kunci dari penghapusan diksrimnasi dan
ketimpangan sosial atas gender terletak teruatam pada pendidikan (formal dan
non formal) dan pembukaan kesempatan kerja. Feminisme liberal juga mengusahakan
untuk menyadarkan perempuan bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan
yang dilakukan perempuan di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang
tidak produktif dan memposisikan perempuan pada posisi subordinat. Akar dari
teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah
makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki sehingga harus diberi hal
yang sama juga dengan laki-laki.[10]
Industrialisasi
dalam Perubahan Ekonomi Keluarga
Salah satu cara berfikir mengenai alasan
mengapa terjadi perubahan sosial dan transformasi sosial adalah menyatakan
bahwa suatu masyarakat dan masing-masing bagiannya mempunyai kebutuhan untuk
menyesuaikan dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik mereka, atau lebih
tepatnya menyesuaikan dengan perubahan yang relevan di dalam lingkungan
keluarga.[11]
Perubahan yang terjadi dalam keluarga, terutama perubahan ekonomi, sejalan
dengan perubahan zaman. Perubahan yang diinginkan biasanya diharapkan bermuara
pada kesejahteraan dan kebahagiaan, namun kenyataannya sering menjadi lain.
Sejahtera dan bahagia tidak hanya sebagai tujuan keluarga, tetapi lebih luas
dari itu, yaitu tujuan hidup.
Dalam usaha untuk mengkaji masalah
keluarga pada masa kini, maka suatu hal yang sangat relevan untuk dipikirkan
adalah masalah industrialisasi dan keluarga. Dimana terjadi suatu perubahan
struktur dari masyarakat yang agraris menjadi industrialis. Goode mengemukakan
pada masa kini bersamaan dengan proses industrialisasi dapat diamati suatu
perubahan ke arah bentuk yang disebut keluarga konjugal. Secara singkat,
keluarga konjugal menurut Goode adalah keluarga dimana keluarga batih menjadi semakin
mandiri melakukan peran-perannya lebih terlepas dari kerabat-kerabat luas pihak
suami istri.[12]
Secara ekonomi keluarga konjugal itu berdiri sendiri, tempat tinggal juga
secara sendiri, tidak bersatu dengan kerabat luas. Secara psikologis, satuan
yang kecil ini menjadi semakin berdikari. Ini berarti juga bahwa hubungan
emosional di antara suami istri lebih sentral dalam kehidupan keluarga yang
memang menyebabkan hubungan mereka menjadi akarab. Akan tetapi kemungkinan
keluarga pecah juga lebih besar karena yang mengikatnya adalah terutama suami
istri itu saja. Sedangkan dalam keluarga tradisional masih ada anggota keluarga
luas yang mengikat keluarga kecil.
Sistem ekonomi yang bertopang pada
industri, sistem keluarga juga telah berubah dari yang tradisional menjadi
modern. Keluarga modern diamsusikan memiliki ciri-ciri tipe keluarga konjugal.
Seperti yang telah disebutkan diatas, keluarga konjugal suami istri terlibat
dalam hubungan yang setaraf, mempunayi hubungan personal yang akrab, antara
anak dan orang tua terdapat hubungan yang tidak otoriter atau berciri
demokratis, para remaja kawin dalam umur yang tidak terlalu muda. Perubahan
yang berlangsung terhadap keluarga hanya dapat dipahami sepenuhnya bila kita
berangkat dari pengetahuan baseline mengenai keluarga dan hal itu harus
dilandaskan pada pengenalan sejarah dari keluarga sebagai pranata sosial.
Dalam kajian perubahan keluarga ketika
masyarakat mengalami proses industrialisasi, gejala wanita bekerja tentulah
menjadi perhatian besar. Adanya perluasan bidang pekerjaan dan pertumbuhan
kemandirian keluarga sebagai fenomena yang muncul dalam masyarakat modern
mempengaruhi pola pikir khususnya kaum perempuan untuk ikut ambil bagian dalam
arena yang penuh persaingan tersebut. Dahulu perempuan dituntut untuk selalu
berada di dalam rumah mengurus rumah tangga, anak dan suami, tetapi di jaman
modern saat ini kaum perempuan tidak mau lagi selalu berada di lingkungan rumah
tangga yang serba terbatas sehingga mereka tidak bisa mengembangkan diri dan
kariernya. Dengan perkembangan jaman para perempuan tidak mau lagi hanya
berdiam diri di rumah dan menggantungkan ekonominya pada suami. Namun dalam
kenyataan sebenarnya bnayak tantangan ternyata presentase wanita bekerja
meningkat juga dan kemungkinan besar terjadi karena di pasaran tenaga kerja
yang memperoleh pekerjaan yang ditawarkan adalah yang mampu.
BAB
III
ANALISIS
Di dalam keluarga, masing-masing keluarga memiliki
peranan masing-masing. Ayah memiliki peranan sebagai pencari nafkah, pendidik,
pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, dan sebagai anggota
dari masyarakat/kelompok sosial. Peranan ibu sebagai istri dan ibu dari
anak-anaknya berperan mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh, pendidik dan
pelindung dari anak-anaknya. Selain itu, istri dapat memiliki peran sebagai
pencari nafkah untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarganya. Pada saat ini
tugas mencari nafkah tidak lagi menjadi tugas kepala keluarga atau suami,
tetapi sudah menjadi tugas siapa saja yang menjadi anggota keluarga. Dalam kasus yang kami ambil, yaitu tentang seorang
pengemudi Bus TransJakarta perempuan, Henny
Prichatiningsih. Sebelum menjadi seorang supir TransJakarta, Henny sudah menjajal berbagai macam profesi. Mulai
dari instruktur aerobik, pelatih tari, hingga guru taman kanak-kanak. Wanita 40 tahun asal Cilacap itu, sama sekali tak
menyangka akan menekuni profesi pengemudi Bus TransJakarta. Dalam artikel
tentangnya tersebut, ia bertutur bahwa awal menjalani karirnya sebagai seorang
pengemudi Bus TransJakarta karena ia merasa tertantang menjalani sebuah profesi
yang pada umumnya di dominasi oleh kaum pria ini. Selain itu, ia juga
mengatakan, dengan menjadi pengemudi Bus TransJakarta, dapat membantu
perekonomian keluarganya karena penghasilannya yang lumayan.
Dari hal tersebut kita bisa melihat, bahwa fenomena perempuan bekerja sebenarnya bukanlah barang
baru di tengah masyarakat kita. Sejak zaman purba pun ketika manusia masih mencari penghidupan dengan
cara berburu dan meramu, seorang isteri
sesungguhnya sudah bekerja. Sementara suaminya pergi berburu, di rumah
ia bekerja menyiapkan makanan dan
mengelola hasil buruan untuk ditukarkan dengan bahan lain yang dapat
dikonsumsi keluarga. Karena sistem perekonomian yang berlaku pada masyarakat
purba adalah sistem barter, maka pekerjaan perempuan meski sepertinya masih berkutat di sektor domestik namun
sebenarnya mengandung nilai ekonomi yang sangat tinggi.
Perempuan
Bekerja Dalam Konstruksi Gender
Mulai maraknya
fenomena perempuan bekerja di masyarakat kita merupakan tanda bahwa sudah
adanya transformasi sosial di dalam peran antara laki-laki dan perempuan.
Terjadinya transformasi sosial tersebut dikarenakan masyarakat
dan masing-masing bagiannya mempunyai kebutuhan untuk menyesuaikan dengan
lingkungan sosial dan lingkungan fisik mereka, atau lebih tepatnya menyesuaikan
dengan perubahan yang relevan di dalam lingkungan keluarga.[13]
Artinya maraknya perempuan bekerja merupakan sebuah
bentuk adaptasi dari berbagai kebutuhan yang semakin meningkat. Dapat di
katakan juga bahwa hampir semua keluarga menginginkan adanya kesejahteraan
serta kebahagiaan keluarga.
Dalam kasus
yang kami ambil, Henny bisa dipandang sebagai seorang perempuan bekerja.
Seperti yang dijelaskan tadi, bahwa perempuan bekerja merupakan fenomena yang
sudah lazim di masyarakat kita. Secara ekonomi, bekerja dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk
menghasilkan barang atau jasa untuk digunakan sendiri maupun untuk mendapatkan
suatu imbalan. Dalam
fenomena Henny sebagai pengemudi Bus TransJakarta, keterlibatan perempuan dalam bekerja, dapat dipengaruhi oleh
beberapa sebab yaitu: tekanan ekonomi, lingkungan keluarga yang mendukung, untuk
kepuasan batin dan sebagian lagi bekerja untuk kepentingan mereka sendiri.
Namun dalam
pandangan konstruksi gender di masyarakat kita yang sebagian masih menganut
patriarki, Henny sebagai seorang perempuan yang bekerja bisa dianggap ssebagai
sesuatu yang tidak lazim, karena dalam pandangan gender patriarki perempuan
dianggap lemah dan hanya berada pada ranah domestik, tidak seperti laki-laki
yang berada di ranah pubik. Akan tetapi dalam kasus Henny sebagai pengemudi Bus
TransJakarta pada dewasa ini, budaya atau konstruksi patriarki sudah tidak lagi
berpengaruh signifikan dalam pandangan masyarakat kita. Henny yang bekerja
sebagai pengemudi Bus TransJakarta merupakan contoh dari perempuan yang sudah
mulai memasuki pekerjaan yang biasanya didominasi oleh pria. Dalam pandangan
feminisme liberal, Henny bisa di katakan sebagai seorang perempuan yang
memiliki kebebasan secara penuh dan individual.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Peran perempuan dahulu diidentifikasikan hanya
mengurus keperluan domestic rumah tangga saja, yaitu memasak, bersolek,
melahirkan anak. Adanya pandangan tersebut menyebabkan perempuan tidak
diperbolehkan menampakkan diri dalam ruang publik baik dalam bidang ekonomi,
pendidikan, maupun politik mengingat system kebudayaan di Indonesia adalah
patriarki, dimana laki-laki yang memiliki hak dan kewajiban lebih besar
dibandingkan perempuan. Namun, gerakan perempuan/feminis timbul karena
perempuan sadar bahwa harus terdapat kesetaraan gender karena perempuan
memiliki hak yang sama dengan laki-laki di ruang publik. Gerakan feminis ini
kemudian menggeser paradigma yang menganggap perempuan lemah dan tidak memiliki
hak yang sama dengan laki-laki di ruang publik, menjadi memperbolehkan
perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki sehingga perempuan di
Indonesia saat ini sudah banyak yang memperoleh pendidikan tinggi dan bekerja
di berbagai sector perekonomian, bahkan melakukan pekerjaan yang seharusnya
dilakukan oleh laki-laki. Saat ini, fungsi dan peranan perempuan dalam rumah
tangga mengalami perubahan. Perempuan tidak hanya mengurus anak, melahirkan,
mendidik anak, namun perempuan sebagai istri mampu bekerja untuk membantu suami
mencari nafkah sehingga kesejahteraan ekonomi keluarga meningkat.
Daftar Pustaka
Bhasin, Kamla. 2000. Menggugat
Patriarki, Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya
Djhantini, Noordjanah.
2006. Memecah
Kebisuan, Agama
Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan. Jakarta:
Komnas Perempuan,
Irianto, Sulistyowati. 2003. Perempuan
Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
J. Goode, William. 2006. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara
K. Garna, Judistira. 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial. Bandung: Universitas Padjajaran
Kalyanamedia. 2006. Gender
dalam Keluarga, Jakarta: Kalyanamitra
Saptari, Ratna
dan Brigette Holzner. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan
Sosial, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar
Sosiologi, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Sumber Internet
http://bps.jakarta.go.id/, diakses pada
tanggal 17 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar