Kamis, 27 November 2014

KONFLIK ANTAR AGAMA DI INDONESIA



KONFLIK ANTAR AGAMA DI INDONESIA

I.                   PENDAHULUAN

Masalah konflik antar agama di Indonesia merupakan sebuah masalah yang rumit dan kompleks. Jika kita menengok kembali ke belakakang kepada masa Orde Baru sampai pada saat ini, kasus konflik antar agama tidak pernah absen mewarnai perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Banyak korban yang sudah berjatuhan akibat dari konflik antar agama, baik oleh negara maupun masyarakat sipil.
Konflik agama seakan-akan tidak pernah menemukan solusi yang terbaik untuk dapat menyelesaikan masalah yang ada. Apakah hal yang menyebabkan masalah ini selalu menjadi masalah yang keberlanjutan? Jika melihat lebih lanjut dalam konflik antar agama ini, ada tiga komponen yang harus diteliti. Kita perlu untuk mengkaji seberapa jauh keterlibatan komponen-komponen tersebut memberikan peran dan pengaruhnya terhadap keberlangsungan konflik antar agama yang ada di Indonesia. Ketiga komponen tersebut adalah komponen negara dengan berbagai aparaturnya, komponen konstitusi/ hukum dan komponen masyarakat sipil. Dari ketiga komponen ini kita akan menganalisis komponen mana yang sesungguhnya paling menghambat terbentuknya toleransi beragama di Indonesia.



II.                ISI
1.      Pemerintah
Konflik agama berbeda dengan konflik-konflik pada umumnya. Untuk mengetahui apa hal yang membedakan konflik agama dengan konflik-konflik lainnya, kita perlu merujuk kepada pengertian yang sebenarnya mengenai konflik antar agama itu sendiri. Konflik antar agama adalah konflik antar kelompok pemeluk agama yang berbeda dengan alasan non agama (misalnya politis, ekonomi, sosial) dan bisa juga dengan menggunakan dalil/ tujuan agamawi yang sempit atau bahkan salah (Musahadi, 2007, hal. 80). Jadi, konflik antar agama adalah konflik yang sesungguhnya bukan terjadi karena agama melainkan lebih mengarah kepada masalah polik, ekonomi, maupun sosial tapi tetap dibungkus dengan agama. Konflik jenis inilah yang terjadi di Indonesia.
Pada masa Orde Baru, campur tangan pemerintah terhadap keyakinan dan kehidupan keberagamaan rakyat sangat tinggi. Hal ini disebabkan penguasa pada masa ini menganut sistem developmentalisme. Sistem yang mengejar pertumbuhan ekonomi dan meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi akan meningkat apabila stabilitas politik terkendali. Untuk terkendalinya stabilitas politik ini, negara melakukan intervensi yang sangat besar terhadap segala potensi konflik yang mungkin terjadi.
Paham developmentalisme yang dijalankan pemerintah, telah membawa dampak yang cukup baik yaitu berupa kemajuan dalam bidang ekonomi. Namun, tidak dapat dipungkiri, disisi lain masalah sosial juga tidak dapat dielakkan. Masalah sosial tersebut adalah adanya kecemburuan sosial di mana masyarakat merasa hanya golongan tertentu saja yang mencicipi keberhasilan dari paham yang ditetapkan pemerintah. Rasa kecewa yang dirasakan masyarakat ini harus dipendam karena pemerintah selalu berusaha untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan yang ada di Indonesia.
Sesungguhnya di dalam negara, agama bisa melebur dalam dua wujud yang berbeda. Pertama, tampil sebagai penyangga status quo dan memelihara integrasi dan kedua tampil sebagai prophetic religion yaitu berperan lebih aktif sebagai kekuatan pembebas (Rahardjo, 1999, hal.186). Dari kedua wujud ini, pemerintah memiliki ketakutan bahwa agama akan lahir dalam wujud yang kedua. Yaitu, lahir sebagai oposisi, alat penghimpun kekuatan untuk mengkeritik ketidak adilan yang dilakukan pemerintah. Ketakutan itulah yang mendorong pemerintah untuk mengadakan intervensi terhadap agama. Intervensi yang bertujuan mempertahanka kekuasaan pemerintah. Pemerintah tidak menyadari bahwa sesungguhnya konflik bukanlah sesuatu hal yang harus dihindari karena konflik merupakan konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majemuk. Kesadaran mengenai kemajemukan tersebut justru dapat dilatih melalui penyelesaian konflik yang ada.
Tetapi sumber konflik itu bukanlah agama, melainkan proses ternbentuknya masyarakat ekonomi baru yang menimbulkan persaingan (competition), sebagai suatu bentuk konflik yang telah direduksi menjadi konflik terkendali, berdasarkan kerangka aturan main yang disepakati. (Rahardjo, 1999, hal. 178).

Pada perkembangan selanjutnya, Reformasi telah membawa perubahan yang sebesar-besarnya dalam kehidupan masyarakat. Secara tidak langsung, reformasi telah berdampak kepada kebebasan masyarakat yang tidak terkendali. Keterkungkungan selama masa Orde Baru, membuat rakyat Indonesia ingin memiliki kebebasan sepenuhnya dalam setiap sendi kehidupannya. Termasuk dalam hal ini adalah agama.
Fenomena yang terjadi pada saat ini adalah terjadi perubahan sifat agama. Masyarakat Indonesia mengarah kepada sebuah gerakan yang menggunakan agama tidak  lebih sebagai suatu identitas. Agama sebagai sebuah identitas tak hanya merupakan suatu kebutuhan psikologis, namun juga membangun tembok pemisah dan berakibat pada pertentangan kepentingan- kepentingan duniawi antar anggota dan komunitas agamawi yang berbeda-beda (Musahadi, 2000, hal. 81). Seperti yang kita ketahui kelompok yang dibentuk berdasarkan sebuah identitas tertentu memiliki kecenderungan untuk memiliki sifat primordial dan cauvinisme yang berlebihan. Kelompok-kelompok ini akan cenderung melakukan kepentingan-kepentingan kelompok yang sesunguhnya tidak bersifat religius.
Pada perkembangan selanjutnya, Reformasi telah membawa perubahan cara bertindak pemerintah dalam menghadapi konflik beragama. Reformasi yang menuntut diadakannya perubahan terutama dalam menjamin kebebasan rakyatnya justru membuat pemerintah terkesan tidak memiliki otoritas yang besar dalam menyelesaikan konflik beragama. Pemerintah cenderung bersifat netral dan tidak dapat berdiri tegak dalam konstitusi yang ada. Pemerintah bahkan menyerahkan otoritas untuk menilai sebuah ajaran agama dan kepercayaan kepada organisasi keagamaan korporatis (Susetyo, 2008). Hal ini dapat kita lihat dalam kasus penyimpangan terhadap tafsir mayoritas yang ditunjukkan dalam kasus Ahmadiyah. Di beberapa daerah, hak-hak mereka dibatasi, mulai dari soal membangun tempat ibadah hingga ke persoalan ibadah haji. Bahkan di Lombok, Tasikmalaya, dan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mereka mengalami pengusiran dan pengrusakan pemukiman dan tempat-tempat ibadah (Mulia, 2008).
Selain bersifat netral, negara juga terlihat cenderung tidak adil pada beberapa golongan tertentu hanya karena memperhatikan kepentingan golongan mayoritas. Negara gagal menjadi penengah dan fasilitator yang baik. Kasus SKB dua mentri mengenai pendirian rumah ibadah, cenderung tidak adil bagi golongan tertentu. Sedangkan golongan yang merasa diuntungkan memandang umat yang merasa dirugikan bertindak tidak dewasa karena tidak dapat menjalankan ketentuan yang telah ditetapkan.
Pemerintah yang sepertinya berusaha menghindari kediktatoran dalam menghadapi keanekaragaman masyarakat yang ada karena ketakutan mengulangi kesalahan yang sama seperti rezim sebelumnya. Namun, pemerintah tetap saja gagal untuk meminimalisir terjadinya konflik antar agama karena pemerintah sendiri kehilangan otoritas dalam bertindak. Sungguh merupakan sesuatu yang sangat disayangkan.

2.      Konstitusi
Konstitusi yang ada di Indonesia sesungguhnya menurut saya sudah sangat menjamin kebebasan beragama yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Jaminan-jaminan tentang kebebasan beragama tersebut terdapat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E juga Pasal 29). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18) maupun Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.(Mulia, 2008) Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri.
Walaupun memiliki jaminan konstitusi yang jelas tentang kebebasan beragama, sering sekali konstitusi-konstitusi dimodifikasi sedemikian rupa (ditambah/ dikurangi) untuk melanggengkan tujuan individu atau golongan tertentu. Pada masa Orde Baru konstitusi alat yang potensial untuk tetap menjaga keeksisan rezim yang berkuasa. Dengan  kehadiran UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan UU No. 5/1969, jelas menguntungkan arus mainstream dalam agama-agama resmi untuk mengontrol tumbuhnya kelompok “pembaharu” dalam tubuh mereka, yang mungkin juga bisa mengganggu kekuasaan Orde Baru.
Sedangkan pada masa Reformasi, konflik antar agama yang berhubungan dengan konstitusi lebih banyak terjadi dikarenakan kesalahan tafsir kelompok masyarakat tertentu terhadap konstitusi yang ada dan akhirnya berujung pada tindak kekerasan. Misalnya dalam kasus yang terjadi penafsiran Peraturan bersama 2 Menteri (SKB Dua Mentri mengenai rumah ibadah). Peraturan ini, justru dipandang kelompok tertentu sebagai peraturan yang melegitimasi tindakan penutupan rumah ibadah. Sehingga muncullah aksi penutupan rumah ibadah secara serentak. Selain itu, terdapat juga penyerangan FPI ke STTI Arastamar di Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena merasa terganggu dengan kegiatan mahasiswa dan juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat fakta bahwa sekolah tersebut memiliki ijin (Mulia, 2008). Kasus-kasus ini menunjukkan kepada kita bahwa sering sekali konstitusi diperalat hanya untuk melanggengkan keinginan individu atau sekelompok golongan tertentu saja.
3.      Masyarakat
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam masyarakat reformasi telah meningkat politik identitas yang semakin memperkeruh konflik antar agama. Meningkatnya politik identitas merupakan faktor yang cukup mempengaruhi konflik antar agama karena: identitas ini dipakai sebagai alat artikulasi atas keresahan sosial yang terjadi (Sitompul, 2005, hal. 33). Setiap identitas akan merasa bahwa kelompoknya yag paling benar dan memiliki nilai lebih dari kelonpok identitas lainnya. Hal inilah yang mendorong terjadinya sikap-sikap fanatik dari golongan agama tertentu terhadap golongan agama lainnya.
Ketika identitas yang dipakai untuk mengartikulasi keresahan sosial, hal inilah yang akan memperkeruh suasana yang ada. Misalnya, ketika suatu masalah diartikan dengan menggunakan bahasa agama, maka biasanya agama cenderung akan memaksa seseorang untuk bersikap absolut dan susah untuk melakukan negoisasi. Jika negoisasi tetutup karena keabsolutan yang ditimbulkan dari bahasa agama itu, maka dengan sendirinya jalan kekerasanlah yang akan segera membayang. Sehingga tidak mengherankan bila hasil tingkat “Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia” yang dilaksanakan di tigapuluh tiga provinsi dengan 1.200 responden, menunjukkan tingkat toleransi antarumat beragama di negeri ini cukup rendah. Sebanyak 42,3% responden menyatakan keberatan jika penganut agama lain mendirikan tempat ibadah di lingkungannya. Hanya 38,1% saja yang tidak merasa keberatan. (Kholid, 2006).
Perlu ditekankan, bahwa konflik antar agama yang terjadi selama ini adalah lebih dikarenakan oleh konflik antar individu (sebagai provokator) yang berkembang menjadi konflik antar golongan. Setiap agama memiliki tradisi dan ajaran-ajaran yang mengajak agar umatnya untuk dapat saling menghormati kebebasan beragama dan toleransi. Agama Kristen sendiri selalu mengajak umatnya untuk mencari dan memelihara perdamaian sesuai dengan Alkitab sebagai pedoman hidup (Mazmur 34: 15) dan (Roma 12:18). Selain itu, kita juga dipanggil untuk menjadi garam di tengah dunia (Markus 9:50) serta memiliki kasih dan pengampunan terhadap sesama (Kolose 3: 13-14). Jadi, yang menjadi inti permasalahan yang sesungguhnya bukanlah agama melainkan individu yang memeng memiliki natur yang cenderung berdosa.

3.      PENUTUP
Ketiga komponen yakni pemerintah, konstitusi dan masyarakat memang memiliki peran dan pengaruh masing-masing terhadap konflik antar agama yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Menurut saya, dari antara ketiga komponen tersebut, konstitusi, hanya merupakan alat yang digunakan pemerintah maupun masyarakat untuk mendukung tercapainya tujuan yang mereka inginkan. Sesungguhnya pemerintah dan masyarakatlah yang paling bertanggungjawab terhadap konflik antar agama yang masih terus berkepanjangan. Namun, bila harus memilih siapa sesungguhnya yang memiliki pengaruh paling besar dalam konflik antar agama ini, saya akan memilih masyararakat. Walaupun tidak dipungkiri bahwa kekecewaan terhadap pemerintah dan sifat netral dari pemerintahan jugalah yang membuat masyarakat bersifat anarkis.
Dalam negara demokrasi di mana pemerintahan sesungguhnnya berada di tangan rakyat, maka rakyat sudah seharusnya memiliki civic competence (kesadaran berwarga negara yang dilandasi peghargaan atas prinsip-prinsip toleransi) dan civil responsibility (tanggung jawab kewargaan) yang tinggi untuk dapat menjalankan kedaulatan yang dimiliki. Ketika masyarakat tidak memiliki kedua hal ini, maka sulit bagi negara untuk mengambil sebuah keputusan yang benar dalam menjalankan pemerintahan yang benar.





































Tidak ada komentar:

Posting Komentar